Muhammad Arya Wiratha Sahabat Sejati Sepanjang Masa ( life stories )


1996. pada tahun itu usia  sahabat saya baru berusia 10 tahun, namun  tidak sekolah lagi, setelah dia lulus sekolah dasar (SD), 10 tahun adalah usia yang se umuran anak masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4 atau kelas 5, namun sahabat saya itu “Ratha”  dia telah berhasil lulus dengan hasil memuaskan. Di bangku sekolah, memang dia yang paling muda kebanyakan teman yang satu kelas dengannya 2 atau 3 tahun lebih tua darinya. Itulah kelebihan dan kebanggaan saya sebagai sahabat baik Ratha, orang yang periang, baik, dan pintar. Namun yang membuat saya merasa sedih dan kaget ketika setelah Ratha Lulus dari sekolah dasar dia tidak melanjutkannya ke sekolah Menengah “lho kenapa? Kamu kan pintar pasti bisa mendapatkan Beasiswa?” ungkap saya dengan sangat tidak sejutu dengan keputusan yang dia utarakan kepada saya. Dia tidak pernah menjawabnya, hanya selalu senyuman yang dia suguhkan sebagai jawaban setiap kali saya menanyakan itu.
Setiap saya pulang sekolah saya selalu berbagi Ilmu ataupun Buku yang saya punya,  dia sangat senang menerimanya,  sebenarnya dia bukan dari keluarga Miskin, menurut saya Ratha termasuk dari keluarga yang cukup mampuh, mungkin jika suatu saat akan melanjutkan sekolahnya hingga ke Perguruan tinggi sekalipun, apalagi dia memiliki seorang kakak lelaki yang bekerja di luar negeri. Namun keluarganya mengajarkan hidup mandiri sejak usia dini. Mungkin dia dan keluarganya akan lebih memilih kelaparan daripada harus meminta belas kasihan orang lain.
Setelah lulus sekolah dasar, dan tidak melanjutkanya ke Sekolah menengah. Ratha hanya mengembala beberapa kambing milik orang tuanya, mengambil Rumput untuk kambing-kambing, dan mencari kayu bakar untuk sang Ibundanya memasak nasi dan sebagainya. Memang Di desa kami hampir semua anak-anak se usia Ratha samapi dewasa kebanyakan beraktivitas kesehariannya hanya mengembala Kambing, mencari Rumput mencari kayu bakar dan lain sebagainya. Para warga di desa kami sudah biasa memasak menggunakan kayu bakar. Meskipun pada saat itu minyak tanah sangat murah karena masih di subsidi pemerintah, namun sebagai warga kampung yang sangat susah untuk mendapatkan uang seribu saja, sudah sangat bersyukur.
Setahun sudah berlalu kami menjalani kehidupan masing-masing di pagi hari, saya berangkat sekolah, dan Ratha berangkat dengan berbagai aktivitas yang sangat banyak, kadang dia membantu orangtuanya bercocok tanam, memanennya dan kadang juga memikul hasil penannya, setiap sore kami selalu bertemu dan bertukar cerita di kehidupan kami masing-masing di pagi hari sampai sore kami biasanya nertemu di Gubuk sawah sebelum adzan Magrib berkumandang, samapi kami masuk ke Masjid. Setiap bertemu dengannya dia selalu  terlihat sangat capek, dan saya rasa wajahnya menjadi lebih tua dari usianya, di tambah hampir setiap hari Ratha selalu beraktivitas di bawah terik matahari yang menyengat, kadang jika saya ada waktu selalu ikut bersamanya ke Gunung, dimana dia dan orangtuanya berkebun. Kadang saya selalu merasa iri dengannya yang selalu terlihat ceria, senang gembira, dan selalu menolong orang lain. Seakan hidupnya tanpa beban, tanpa da kekurangan.
Yang paling saya ingat dan memang tidakakan pernah saya lupakan adalah ketika kami ke Gunung untuk menuyusul orang tuanya Ratha yang akan memanen singkong dan Umbi, waktu itu kami mau melakukan Sholat kami mencari sumber air di pegunungan Untuk mengambil air wudhu, ketika itu saya terjatuh ke sungai yang memang airnya telah surut, namun tetap saja pakaian saya berlumuran lumpur sungai yang sangat merah tanahnya. Karena saya akan melakukan sholat maka saya memakai pakaian Ratha dan sarungnya untuk sholat, dan setelah saya Sholat karena kelelahan sampai saya tertidur pulas di bawah pepohonan yang sangat rimbun dan sejuknya angin berhembus, meskipun pada saat itu cahaya matahari sangat menyengat ke Bumi. Sekitar 90 menit saya tertidur, ketika saya terbangun saya kaget ternyata saya tidur di bawah pohon rimbun dengan alas beberapa helai daun pisang utuh.
Saya mengucek-ngucek mata saya dengan kedua jemari tangan saya sambil mencari sosok Ratha yang tadi mau melakukan Sholat bergantian dengan saya. Sekitar 15 menit saya menenangkan diri setelah terbangun dari tidurku yang cukup lama, lalu saya menuju ke kebun dimana Orangtua Ratha memanen singkong dan Ubi manis, benar saja Ratha sudah membantu orangtuanya memanen dengan penuh semangat “hai” ucap ibunya Ratha sambil tersenyum, ratha sama ayahnya hanya menoleh kepada saya dan tersenyum, saya paham mereka sedang sibuk, saya bingung apa yang bisa saya bantu? Sementara saya masih menggunakan baju muslim dan sarung. Lalu saya menghampiri mereka ‘boleh saya membantu?’ menawarkan diri saya, namun Ratha dan ayahnya hanya tersenyum yang mereka arahkan ke pohon singkong yang mereka cabut bersamaan.
“sudah selesai, ini yang terakhir’ kata ratha lalu dia dan ayahnya berjalan menuju Gubuk yang sangat kecil dan tanpa din-ding, dan ber tutup jerami dan dedaunan. Dengan pikiran bingung saya mengekor dengan mereka menuju Gubuk itu, ratha dan keluarganya tidak berani makan mereka menunggu saya datang, karena saya tertidur jadi mereka melanjutkan pekerjaannya, mereka juga tidak tega membangunkan saya, untuk meminta pakaian karena akan menunaikan Sholat. Pakaian saya yang kotor juga di cucikan oleh ibunya Ratha dan di jemur,saya sangat sedih ketika Ibunya ratha memberikan pakaian saya yang sudah kering dengan tersenyum mereka selalu menghormati dan menghargai saya.
Itulah yang membuat saya merasa nyaman jika selalu bersama ratha dengan keluarganya, mereka bagaikan keluarga ke dua saya. Setiap kali orang tua ratha memenen apapun di kebunya mereka selalu mebaginya kepada saya untuk di bawa kerumah, saya selalu merasa iri bukan terhadap ratha saja melainkan terhadap orangtuanya juga yang selalu berbagi meskipun hanya sedikit, dalam waktu belajar ratha kalah dengan saya yang selalu giat belajar, namun dalam Agama Ratha sangat pandai dalam ilmu agama terutama mengaji, tentu saja setiap malam setelah Sholat magrib Ratha selalu mengajarkan Anak-anak di kampung halamannya belajar tentang ilmu agama, ngaji, dan praketek Ibadah sehari-hari, kadang saya ikut belajar bersama anak-anak di masjid. Hebatnya lagi Ratha tidak menmungut bayaran Rp1 pun, melainkan gratis bagi siapapun yang ingin belajar tinggal datang ke masjid dan duduk bersama anak-anak (seperti yang sering saya lakukan jika ingin belajar agama).
PERPISAHAN DENGAT SAHABAT BAIK
            Saat saya berjalan pulang dari Masjid setelah menunaikan sholat Subuh. Setiap kali saya pulang dari masjid saya selalu barter cerita (itulah Hobby saya mendengarkan cerita kehidupan orang lain), tapi tidak untuk Sholat subuh karena Ratha selalu khusu Wiridan jika usai Sholat subuh. Belum jauh saya berjalan meninggalkan Masjid ratha memanggil saya, dia merangkul saya dan kami berpelukan sebagaimana ayah saya berpelukan dengan sesama kerabat dekatnya, atau dengan saudara yang lama tidak berjumpa.
“saya sangat bahagia sekali” katanya the point aja, saya hanya tersenyum kebingungan lama kami berpelukan.
“oke, kita ngobrol dimana nih sekarang biar saya mengerti” usul saya yang masih kebingungan apa maksud dari perkataan Ratah sangat senang sekali, apakah dia telah jadian sama si Aisya Robiah gadis desa sebelah yang lama sekali dia kagumi. Namun tak kuasa menyatakan perasaanya. Atau dia akan bekerja ke jakarta/bandung seperti yang dia impikan selama ini. Atau apalah saya tidak tau menahu tentang kata “bahagia” yang dia ucapkan saat berpelukan tadi.
“pokonya apapun yang kamu bahagia, saya akan bahagia” uacap saya mengawali pembicaraan, dari tadi kami hanya terdiam saja sambil berjalan menuju rumah Ratha, atau memang saya saja yang melamun tanpa mendengarkan apa yang Ratha ucapkan dari tadi.
Ketika kami sampai di rumah Ratha dan belum sempat duduk “A bapakmu mana, tuh Mobilnya sudah dateng, lah bukannya kita berangkat jam 8” ibunya Ratha sedikit panik dan cemas. saya hanya terdiam dan semakin bertambah bingung, tadi Ratha mengucapkan bahagia, sekarang ibunya kebingungan dengan kata Mobilny sudah datang, bukannya kita berangkat jam 8. Ditambah lagi saya melihat beberapa kardus Mie instant yang terisis makanan, beras dan lainnya yang di ikat dengan tali rapia.
“kamu ganti baju aja dulu, terus kesini lagi secepatnya ya, pokonya harus ikut, cepetan jangan lama, kasihan orang lain menunggu” ucap Ratha tanpa menanggapai rasa penasaran saya yang balum terjawab. Sayapun segera pulang untuk ganti pakaian
“jangan lupa pakai Peci ya” teriak Ratha, haha? Saya bingung tapi tetap saja meng “iya”kannya.
Saya kembali lagi ke rumah Ratha dengan siap, kami pergi menggunakan Mobil gerobak dengan alas Tikar “samak” penduduk desa kami menyebutnya. Saya duduk di dekat Ratha, ada orang tuanya, saudara dekat dan tetangga, memang di Desa kami sudah biasa jika mendapatkan kebahagiaan tetangga, dan saudara terdekat harut ikut merasakannya.
“kemana kita Ratha?” tanya saya tetap ngotot dengan rasa ke ingin tahuan saya dari semanjak sholat subuh tadi, meskipun dia hanya tersenyum-senyum, sambil memasang jari telunjuknya pas di tengah bibirnya “sttttt” suara yang keluar, yang berarti jangan berisik. Saking kesalnya saya menonjok-nonjok tangan kanan bagian atasnya dengan kedua kepalan tangan saya berkali-kali. Tanpa saya sadari hampir semua orang yang duduk menoleh pada saya, kebanyakan dari mereka tetangga yang sudah saling mengenal dengan saya.
“haha, kamu puas-puasin aja main sama Ratha, untuk yang terakhir kalinya” kata seorang lelaki yang duduk di belakang saya, tanpa saya menolehnya.
“hah , emang kenapa?”
“lha, emang kamu tidak tau, kan jang Ratha teh mau masuk pesantren”
Tanpa saya bertanya, hanya melihat wajah Ratha, baru saya menyadarinya ternyata di wajahnya itu terlihat raut wajah yang sedih, mungkin sedih karena akan berpisah dengan Rutinitas, sedih dengan perpisahan dengan orangtuanya, dan sedih kah dia meninggalkan saya sahabatnya? Saya merasa dunia ini sedang kelabu, saya hanya bisa diam ingin rasanya memeluk sahabat saya sambil menangis. “Muhammad Arya Wiratha” guman hatiku “aku 3 tahun lebih tua darimu, tapi kau begitu banyak mengajarkanku tentang Hidup, Agama, dan ke dewasaan”
“ini Tissue” suara Ratha mengagetkan saya, sambil memegang Sorbannya, dan menganggap itu tissue meledek saya sedang menangis.
“kurang ajar enggaklah” timpal saya dengan kembali menonjoknya lagi, saya hanya menyembunyikan lesedihan, sedih tidak ada lagi yang mengajarkan saya Agama, sedih tidak ada lagi teman untuk berbagi, karena meskipun keluarga saya utuh, berkecukupan namun semuanya selalu sibuk dengan Dunianya masing masing, bahkan mereka tidak tau siapa saja teman saya, apa makanan kesukaan saya, apa yang saya tidak dimakan, dan lainnya keluarga saya tidak mengetahuinya. Namun Ratha, keluarganya tau saya tidak suka makan Kuningnya Telor, mereka tau saya tidak suka makanan ber santan, mereka tau saya suka makan singkong bakar dan Ubi manis Goreng. Kadang saya Heran kenapa orang asing terasa seperti Keluarga saya sendiri?
“alhamdulillah” para penumpang Mobil Gerobak itu serentah mengucapkan Puji syikur kepada Alloh karena telah ssampai tujuan dengan selamat, mambuyarkan lamunan saya.
“ayo turun” perintah seorang ibu yang duduk di belakang saya merasa terhalangi untuk turun dari Gerobak mobil sambil mencari sendalnya, yang tadi dia simpan di bawah Tikar.
Semenjak saya tau kalau ternyata Ratha akan menempuh pendidikan di pesantren, saya jadi jarang bersuara, dan memang kami jadi berbeda,
“belajar di pesantren memakan waktu yang tidak bisa di tentukan ada yang seumur hidup, ada yang berpuluh atau belasan tahun, bahkan ada juga yang hanya seminggi/sehari saja” seorang Kiyai menerangkan sambil berguyon para orang tua berkumpul di Rumah sang Kiyai, sementara para Perempuan berkumpul di Madrasah sesama perempuan,
Kami sebagian melihat-lihat masuk ke dalam pesantren, karena sudah di ijinkan oleh Rohis (penanggung jawab) untuk masuk dan melihat-lihat.
“Kebnyakan para santri jam segini pada keluar” suara Rohis mengagetkan kami, kami berbincang-bincang dengan Rohis dan para santri lainnya. Ternyata belajar di pesantren ini sangat menyenagkan, dimana kita bukan saja menekuni ilmu tentang agam Islam saja, namun para santri (panggilan Murid yang Belajar di pesantren) di ajarkan juga cara bercocok tanam, bertani, ber sosialisasi dengan tetangga sekamar pesantre ataupun tetangga kampung sekitar. Merka juga memasak nasi dan lauk pauk untuk di makan sendiri ataupun bersamaan dengan menggunakan alat seadanya, dan kayu bakar.
Suasananya sangat sejuk bukan saja di rasakan oleh tubuh amun juga dengan hati, dimana banyak orang namun tenang aman, saya berkeliling menelusuri pesantren lelaki, kebetulan pesatren perempuannya jauh di pisahkan, dan sangat tertutup. Saya melihat para santri dengan sejuta aktivitasnya, ada yang sedang mencuci pakaiannya sendiri, ada yang sedang menghapal ilmu agama, ada yang sedang mebelah katu bakar dan menjemurnya, ada juga yang sedang berkebun di belakang pesantren. Saya terus enyelusuri setiap ruang dan sudut pesantren dari luar, ada juga yang sedang makan mereka makan dengan beralaskan daun pisang, dengan posisi jongkok semuanya, saya terkagetkan ketika mereka semua mengajak saya makan, Subhanalloh mereka sangat sopan santun dan ramah.
Saya melihat Ratha yang sedang membawa beberapa barangnya sendirian, lalu saya segera berlari untuk membantunya, dia tersenyum “apa ini” tanya saya tanpa menanggapi senyumannya, hanya melirik Dus yang saya bawa.
“itu Adrahi”
“hah?, apaan Adrahi?”
“adrahi iyu semacam oleh-oleh namun dari kampung yang Santri bawa untuk di makan bersama”
“owh” saya baru tau, “terus pakaianmu mana?” saya penasaran dia hanya membawa tas yang saya kira beberapa helai pakaian saja.
“saya hanya membawa 3 sarung kaos dan baju Muslim. Saya tidak banyak membawa barang, seperlunya saja, yang bisa saya beli disini saya beli aja”
“Maksudmu” celoteh saya masih penasaran
“iya disini ada warung untuk keperluan para santri, jadi para santri tidak usah keluar, terus semua Kitab Kuning yang di pelajari maupun yang tidak di pelajari disini ada semuanya, namun di sini tidak ada perpustakaan seperti di sekolahmu, jadi kalau kita butuh ya Harus beli.
“kalo pinjam Boleh?” tanya saya, dari dulu Ratha selalu sabar menghadapi berbagai pertanyaan saya yang hanya karena penasaran saja.
“hanya orang Bodoh yang meminjam dan mengembalikan Ilmu”
“owh....” kata saya merasa malu!!
Dari dulu saya selalu menolak untuk belajar di jakarta, karena saya memiliki sahabat yang sangat baik dan selalu mengajari saya banyak tentang Hidup. Namun 6 bulan setelah Ratha masuk pesantren, sayapun mengambil keputusan untuk menyusul orang tua saya untuk tinggal dan sekolah di sana. Saya menitip surat untuk ratha ke bapaknya, karena setiap bulan bapaknya selalu menjenguk Ratha
Untuk Saudaraku ratha,
Assalamu alaikum Sahabat saya Ratha yang baik, semoga Alloh selalu memberikan Petunjuknya dan pertolonganya kepada kita. Maaf sebelumnya jika surat ini harus menyita waktu belajarmu di pesantren, ayahmu selalu bercerita tentangmu di Pesantren, kamu sudah hafal banyak pelajaran di pesantren, dan ayahmu sangat bangga padamu ratha, kamu selau rajin puasa senin kamis, bukan saja ayahmu yang bangga padamu namun ibumu juga suka menangis jika saya menanyakan kabarmu.
Setiap ayahmu pulang dari pesantren saya selalu menemuinya untuk memburu kabarmu.
Oh ya saya hanya mau pamit saja, mungkin ketika kamu membaca surat saya ini, saya suddah tidak di kampung lagi, karena saya pindah sekolah ke jakarta mengikuti orangtua.
Semoga kamu selalu menganggap saya sahabat dan akan selalu mengajari saya tentang hidup dan Agama. Jika kamu kelak menjadi Kiyai semoga sayalah orang yang pertama kamu ajarkan tentang Agama.
Mungkin setiap bulan saya akan menitipkan surat untukmu kepada saudara saya yang setiap bulan pulang ke kampung halaman, akan saya titipkanmelalui ayahmu, agar kita terus berceerita tentang kehidupan kita masing-masing.
Terima kasih
Sahabatmu/muridmu

Begitulah surat yang saya tulis untuknya di atas selembar kertas dari buku tulis, yang ku robek.
Semenjak saya tinggal di jakarta tidak pernah lagi saya ke kampung halaman kecuali setiap hari Lebaran. Bahkan semenjak saya hidup di jakarta lama kelamaan saya mulai melupakannya, kesibukan saya bekerja setelah lulus sekolah, berkumpul dengan teman-teman kerja di kafe dan di warung jajanan makan malam pingiran Kota jakarta, membuat saya luput tenggelam di dalamnya. Seakan aku tidak peduli kepadanya, seakan aku tidak pernah memiliki sahabat seperti dia. Muhammad Arya Wiratha, yang dulu selalu menasehatiku, meskipun aku 3 tahun lebih tua darinya, dia yang selalu mengalah untuku apapun itu. Dia yang hanya bisa tersenyum saat ku meminta bantuan ini itu, selayaknya dia babu saya. Bahkan di hari Pernikahannya saya tidak menyempatkan diri untuk datang memberikan hanya sekedar ucapan selamat. Padahal dai dengan susah payah keungan sulit memaksakan diri untuk datang ke jakarta hanya untuk mengundang saya.
Aku telah melupakan dia Sahabat sejatiku yang dari kecil selalu membantuku, mengalah untuku, dan selalu mengisi hariku seasa kecil, aku seakan menganggapnya sudah tiada dalam kehidupnaku. Kejadian itu berlangsung selama 6 tahun, sampai aku baru sadar dan teringat hatiku sanubariku akan semua kenangan saya bersamanya, ketika saya baru saja putus Dengan Tania, yang sudah beberapa tahun berhubungan dengan saya, kami menjalinnya selama hampir 3 Tahun, nukannya saling memahami malah saling egois dengan dunianya masing-masing, dan ini memang kesekian kalinya saya Bertengkar dengan Tania, dan ini benar-benar berakhir Hubungan Asmara kami, karena Tania sudah memilih David, untuk menggantikan saya di hatinya dengan Selingkuh dengannya. Saya sangat terpuruk sekali saat itu, tidak ada seseorang yang saya butuhkan untuk mendengarkan keluh kesal saya,  seseorang yang memberikan masukan dan nasehat, yah biasanya dulu Ratha, dia selalu ada untuk saya. 2 minggu setelah tragedi pengkhianatan Cinta Tania terhadap saya, saya mulai Move on, dan saya mencoba membuang semuanya kenangan tentang Tania, agar saya tidak merasaknnya rasa sakit hati atas pengkhianatannya. dengan tidak sengaja membuka album Foto saat dulu di kampung, yang terpendam di dalam sebuah kardus bekas Mie instant. Saat saya buka satu persatu lembaran Album Foto itu, Saya menangis saat melihat foto-foto kami (saya dan Ratha) di sawah, di kebun, da masjid saat kami bersama di pengajian dan lainnya, mungkin inilah teguran Tuhan terhadap saya yang Sombong, angkuh dan mungkin Keras hati.
Saat saya mendapatkan Cuty tahunan, saya langsung ijin di tempat kerja untuk ke kampung halaman selama 3 hari, saya berencana akan menginap di saudara saya yang masih ada di kampung itu. Pagi-pagi buta saya menuju kempung Halaman saya dengan Bus pertama, lalu saya menyambung 2x dengan angkot dan naik ojeg untuk sampai di kampung tercinta itu, kampung dimana hidup saya di mulai disini, kampung yang menyimpan jutaan kenangan indah, kampung yang masih tetap seperti 8 tahun yang lalu, hanya saja ada beberapa bangunan Rumah adat kampung itu. Sepanjang jalan masih terlihat beberapa Rumah yang sangat mirip Gubuk namun lebih besar, dan lebih kokoh, dimana setiap pagi para penduduk hilir mudik berangkat ke Kebun/sawah. Saling menyapa dengan senyuman setiap kali berpapasan dengan siapa saja mereka bertemu, sangat bertentangan dengan perkotaan yang saling terdiam masing-masing, penuh curiga dengan sesama, dimana rasa kepercayaan telah musnah. Itulah yang ku rasakan di perkampunganku dulu menghabiskan masa kecil. Rasanya saya ingin selamanya lagi tinggal di kampung ini, namun semuanya itu mustahil, mungkin seribu aktifitas menunggu di tempat kerjaku di jakarta, dan aku hanya memilik Sahabat yang sudah terlupakan mungkin tepatnya di lupakan, aku akan melihat keluarga barunya, saya dengar dia sudah meiliki 2 anak,  rasanya baru kemarin saya meninggalkan kampung ini, padahal sudah 8 tahun yang lalu.
Setelah perjalanan dari jakarta jam 5:30 akirnya sampai juga di Rumah orangtua sahabatku “Muhammad Arya Wiratha” karena saya tidak tau Rumah sahabat saya itu dimana? Jadi saya langsung ke Rumah Orangtuanya. Orangtua Ratha masih menyambut saya seperti dulu, dai mempersilahkan saya duduk di kursi yang sebelumnya dia bersihkan dengan memukul-mukul dengan sarung yang tergantung di paku dindingnya. Saya sangat canggung sudah lam tidak memasuki Rumah ini, dulu Rumah ini adalah Rumah saya yang ke 2, Rumah yang tidak pernah mengalami renovasi selam 8 tahun, hanya saja semakin terlihat banyak kerusakan, dinding yang pecah dan tambalan, lantai yang sudah pecah, kursi yang sudah tidak layak pakai masih tersimpan rapi di ruang tamu yang dulu kami selalu berantem kejar-kejaran dan belajar bersama.
Namun suasana sangat hening dan sunyi ketika saya bertanya “Ratha dimana mang?” seakan ucapan saya ini salah, mereka tidak menjawabnya, hanya memeluk anak perempuan cantik yeng duduk di pangkuannya, anak perempuan yang saya kira usianya sekitar 4 tahun, dia sangat suka dan menikmati Coklat pemberianku, mengenggam semuanya, kadang berebutan dengan adik lelakinya yang berusia 2 tahun.
Saya keluar mengikuti ayahnya Ratha, katanya dia mau mengantarkan saya ke tempatnya, sepanjang perjalanan sebenarnya saya ingin banyak bebicara dengan ayahnya Ratha seperti dulu, namun sepertinya dia sedang tidak ing
in bicara dengan saya, terlihat dari setiap jawaban yang saya tanya, hanya berkata “ya” atau “Oh”, dan akhirnya sayaoun hanya diam mengukiti langkah kakinya. Ini Ratha anak saya. Ucap ayah Ratha menangis sambil menujukan makam (kuburan), saya hanya diam, tak percaya dengan semua ini, lalu saya duduk dan menangis di atas makan Ratha sahabatku, Ratha Guru hidupku, mengapa terlalu cepat kau meninggalkan saya. Maafkan saya, yang telah menzalimimu, keluargamu.  Saya menangisi di atas Makamnya Ratha, ayahnya telah lama meninggalkan saya sendirian di makam anaknya itu, saya bergegas ambil wudhu dan membacakan beberapa kalimat dzikir, Sholawan, dan Yaasin. Lalu saya memeluk Nisan bertuliskan Muhammad Arya Wiratha Bin Yadi hasanuddin. Sampailah adzan ashar berkumandang saya baru meninggalakn sahabat saya Rtha di pembaringannya yang terakhir.
Saya lalu menuju Masjid, untuk Sholat Ashar di masjid yang biasanya saya Belajar ilmu agama Islam kepada Ratha, dimana kami selalu berjumpa, dan bertukar cerita, masjid yang menyaksikan persahabatan kami yang telah saya Nodai dengan mencampakannya. Masjid diman kami berpelukan untuk yang Terakhir kalinya, saat Ratha akan berangkat ke Pesantren. Masjid itu telah berubah semakin Besar dan megah namun sepi yang beribadah tidak seramai dulu, mungkin mencerminka diri saya yang semakin Dewasa dan modis namun hatinya hampa dan kosong. “jang ayo ke rumah dulu” ayah ratha mengagetkan lamunanku, tak terasa air mata menetes membasahi kedua pipiku, sayapun mengikuti ayahnya Ratha, sepanjang perjalanan saya hanya diam mendengarkan cerita Ayahnya Ratha, tentang Ratha, saya hanya diam dan kadang menangis menyesalinya. “Saya belum sempat meminta maaf” guman hati saya. Ratha telah meninggalkan 2 orang anak, 1 anak perempuan dengan nama Aisyah Robiah (4 tahun), saya yakin itu adalah nama seorang gadis tetangga desa sebelah yang dia sukai, namun telah menikah dengan ustadznya, dimana dia menempuh ilu agama. Dan anaknya yang bungsu (2 Tahun) adalah nama lengkap saya, saya kaget dengan namanya yang dia ambil dari Nama lengkap saya. Mungkin untuk mengingat saya.
Saya tidak dapat berbuat apap-apa hanya bisa menyesali menangisi, dia sosok manusia yang baik, insya Alloh mendapatkan Tempat yang baik pula disana. Sesam[ai di rumah Ibunya sudah menyiapkan makanan untuk saya,  mereka masih menghormati saya, padahal saya bukan siap-siapa, saya sangat sungkan dan malu, dsambil makan Ayahnya Ratha masih bercerita tentang Ratha, tentang cita-citanya, dan Istrinya harus berangkat ke Luar negeri menjadi TKW karena untuk membiayai 2 anak tak sanggup lagi, karena tidak ada yang bisa di andalkan. Miris sekali, dan sangat sedih, seakan lengkap sudah penderitaan mereka ya Alloh.
3 hari di kampung itu rasanya belum cukup, saya masih ingin mendengar banyat tentang Ratha, namun tidak bisa di pungkiri besok saya harus sudah kembali bekrja di jakarta. Sampai di Jakarta saya selalu kepikiran gimana bisa saya melupakan orang yang sangat berharga dalam Hidup saya, orang yang tidak pernah melupakan saya.
Begitulah sahabat sejati memang Jarang dicari, jarang di temukan dan Susah dilupakan.
Selamat Tinggal Muhammad Arya Wiratha (Ratha)

Komentar

  1. makasih Infonya, namun untuk saat ini saya belum minat, may be next time :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nama Nama Bulan Dalam Agama Islam

“Abdi” Bahasa Sunda ( Warga Negara )

Cerita Dewasa Aku dan ibu kost ( life stories )