Kewara'an/ Meninggalkan Apa-apa Yang Syubhat (antara halal dan haram)
Allah Ta'ala berfirman:
"Engkau semua mengira
bahwa persoalan itu adalah remeh saya, padahal di sisi Allah ia
adalah persoalan yang
agung-amat penting." (an-Nur: 15) Allah Ta'ala berfirman pula:
"Sesungguhnya Tuhanmu
niscayalah selalu mengintip - segala perbuatanmu." (al-Fajr: 14)
586. Darian-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma,
katanya: "Saya mendengar
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya apa-apa yang halal itu jelas dan
sesungguhnya apa-apa yang haram
itupun jelas pula. Di antara kedua macam hal itu -
yakni antara halal dan haram - ada
beberapa hal yang syubhat -samar-samar atau serupa
yakni tidak jelas halal dan
haramnya.Tidak dapat mengetahui apa-apa yang syubhat
itu sebagian besar manusia. Maka
barangsiapa yang menjaga dirinya dari
perbuatan-perbuatan syubhat, maka ia telah
melepaskan dirinya dari melakukan sesuatu yang
mencemarkan agama serta kehormatannya.
Dan barangsiapa yang telah jatuh dalam
kesyubhatan-kesyubhatan, maka jatuhlah ia dalam
keharaman, sebagaimana halnya seorang penggembala yang
menggembala di sekitar tempat
yang terlarang, hampir saja ternaknya itu makan dari
tempat larangan tadi.
Ingatlah bahwasanya setiap raja itu mempunyai
larangan-larangan. Ingatlah
bahwasanya larangan-larangan Allah adalah apa-apa yang
diharamkan olehNya. Ingatlah
bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpa! darah
beku, apabila benda ini baik, maka
baiklah seluruh badan, tetapi apabila benda ini rusak
- jahat, maka rusak - jahat - pulalah
seluruh badan. Ingatlah bahwa benda itu adalah
hati." (Muttafaq 'alaih)
Imam-imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan Hadis di
atas dari beberapa jalan,
pula dengan lafaz-lafaz yang hampir bersamaan.
587. Dari Anas r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. menemukan
sebiji buah kurma di jalanan,
lalu beliau s.a.w. bersabda:
"Andaikata saya tidak takut bahwa kurma ini
termasuk golongan benda sedekah,
pastilah saya akan memakannya." Suatu tanda
sangat berhati-hatinya beliau s.a.w. dalam hal
yang syubhat. (Muttafaq 'alaih)
588. Dari an-Nawwas bin Sam'an r.a. dari Nabi s.a.w.,
sabdanya: "Kebajikan ialah
baiknya budipekerti dan dosa ialah apa-apa yang engkau
rasakan bimbang dalam jiwamu
dan engkau tidak suka kalau hal itu diketahui oleh
orang banyak." (Riwayat Muslim)
589. Dari Wabishah bin Ma'bad r.a., katanya:
"Saya mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu
beliau bersabda: "Engkau datang ini hendak
menanyakan perihal kebajikan?" Saya menjawab:
"Ya." Beliau s.a.w. lalu bersabda lagi:
"Mintalah fatwa - keterangan atau pertimbangan - pada
hatimu sendiri. Kebajikan itu ialah yang jiwa itu
menjadi tenang padanya - di waktu
melakukan dan setelah selesainya, juga yang hatipun
tenang pula merasakannya,sedang dosa
ialah apa-apa yang engkau rasakan bimbang dalam jiwa
serta bolak-balik -yakni ragu-ragu -
dalam dada - hati, sekalipun orang banyak telah
memberikan fatwanya padamu; yah,
sekalipun orang banyak telah memberikan fatwanya
padamu."
Hadis hasan yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahmad dan
ad-Darimi dalam kedua
musnadnya.
Keterangan:
Dua Hadis di atas itu menegaskan apa yang disebut
kebajikan dan apa yang disebut
dosa itu.
Kebajikan ialah:
1. Budipekerti yang baik.
2. Juga sesuatu yang dirasa tenteram dalam jiwa dan
tenang dalam hati. Untuk
mengetahui ini cukuplah bertanya kepada hati kita
sendiri. Misalnya berkata jujur,
bagaimanakah hati kita setelah melakukannya? Tenang
bukan. Nah, itulah kebajikan. Tetapi
berkata dusta, tenangkah jiwa kita setelah
melakukannya? Pasti tidak, sebab takut ketahuan
orang kedustaannya itu. Nah, tentu itu bukan kebajikan
tetapi kejahatan dan dosa.
Selanjutnya yang disebut kejahatan dan dosa itu ialah:
1. Sesuatu yang membekas dalam hati yakni setelah
melakukannya, hati itu selalu
mengangan-angankan akibat yang buruk dari kelakuan
tadi itu, jelasnya hati senantiasa
gelisah kalau kelakuannya tadi diketahui oleh orang
lain. Misalnya menipu, merampas hak
orang, berbuat zalim dan penganiayaan, tidak jujur,
memalsu dan Iain-Iain sebagainya.
2. Sesuatu yang kecuali membekas
dalam jiwa, juga hati sudah bimbang dan raguragu
di saat melakukannya itu, sebab kalau ketahuan orang,
tentu akan mendapatkan
hukuman, berat atau ringan, misalnya mencuri, membunuh
dan Iain-Iain lagi.
3. Sesuatu yang ditakutkan kalau diketahui orang lain,
baik takut akan menjadi malu,
sebab apa yang dilakukan itu merupakan hal yang
tercela di kalangan masyarakat atau takut
jatuh namanya, takut hukumannya dan Iain-Iain.
Rasulullah s.a.w. menandaskan perihal kejahatan dan
dosa itu dengan diberi
tambahan kalimat: "Sekalipun orang-orang lain
sama memfatwakan itu padamu serta
membenarkan tindakanmu itu." Artinya sekalipun
banyak yang mendukung tindakanmu
dan banyak pembelamu serta semuanya menyetujui, tetapi
kalau sifatnya membekas dalam
hati dan meragu-ragukan, itulah suatu tanda bahwa apa
yang kamu lakukan itu suatu
kejahatan atau dosa. Soal orang yang memberikan fatwa
itu belum tentu benar, mungkin
orang itu hanya menginginkan supaya kamu banyak
menghadiahkan sesuatu padanya atau
menginginkan kepangkatan kalau justeru kamu sebagai
pemegang kekuasaan atau fatwanya
itu hanya ditilik dari segi lahiriyahnya saja, sedang
yang terkandung dalam hatimu tidak
atau belum diketahui olehnya. Oleh sebab itu, tepatlah
kalau Rasulullah s.a.w. mengingatkan
kita agar kita lebih-lebih mengutamakan untuk meminta
fatwa atau keterangan dari hati kita
sendiri.
590. Dari Abu Sirwa'ah - dengan kasrahnya sin muhmalah
- yaitu 'Uqbah bin al-Harits
r.a. bahwasanya ia mengawini anak perempuannya Abu
Ihab bin 'Aziz. Kemudian datanglah
seorang wanita, lalu berkata: "Sesungguhnya saya
benar-benar telah menyusui 'Uqbah serta
perempuan yang dikawin olehnya itu - jadi keduanya
adalah saudara sesusuan yang haram
menjadi suami isteri." Kemudian 'Uqbah berkata
kepada wanita tadi: "Saya tidak mengerti
bahwa anda telah menyusui saya dan anda tidak pernah
memberitahukan hal itu padaku."
'Uqbah lalu menaiki kendaraan untuk menuju kepada
Rasulullah s.a.w. di Madinah,
kemudian menanyakan perkara itu padanya. Rasulullah
s.a.w. lalu bersabda: "Bagaimana
lagi, sedangkan persoalan sudah dikatakan
demikian." Selanjutnya 'Uqbah lalu menceraikan
isterinya itu dan mengawini wanita lain lagi. (Riwayat
Bukhari)
591. Dari al-Hasan bin Ali radhiallahu 'anhuma,
katanya: "Saya hafal sesuatu sabda
dari Rasulullah s.a.w.: "Tinggalkanlah apa-apa
yang meragu-ragukan padamu untuk beralih
kepada apa-apa yang tidak meragu-ragukan padamu."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah Hadis hasan
shahih.
Artinya ialah: Tinggalkanlah apa-apa yang engkau
merasa bimbang untuk
dilaksanakan dan ambil sajalah apa-apa yang engkau
tidak merasa bimbang samasekali
dalam melaksanakannya.
Keterangan:
Hal-hal yang meragu-ragukan itu pada umumnya ada dua
macam, yaitu:
1. Meragu-ragukan karena dipandang dari segi hukumnya
seperti barang-barang
yang hukumnya syubhat (tidak jelas perihal halal atau
haramnya).
2. Meragu-ragukan karena dipandang dari akibatnya
seperti sesuatu usaha atau
tindakan.
Kalau yang pertama memang sebaiknya kita tinggalkan
saja dan beralih kepada yang
tidak meragu-ragukan. Tetapi kalau yang kedua wajiblah
kita tinjau dahulu, yaitu sekiranya
hati kita yakin akan kebenaran usaha atau tindakan
kita itu, maka keragu-raguan wajiblah
dilenyapkan dan usaha atau tindakan itu wajib
dilaksanakan terus. Misalnya dalam cita-cita
menegakkan Agama Islam di atas bumi ini, terutama di
tanahair sendiri, lalu kita ragu-ragu
kalau tidak berhasil, banyak yang menentangnya, badan
dapat sengsara sebab disiksa,
dipenjarakan dan Iain-Iain. Maka keragu-raguan semacam
ini, bukanlah pada tempatnya.
Orang yang meragu-ragukan semacam ini, sama halnya
dengan orang yang ingin
menyeberangi jalan, tetapi takut tertubruk mobil atau
ingin makan durian, tetapi takut
tercocok durinya. Jadi keragu-raguan tersebut wajib
dilenyapkan dari sanubari setiap kaum
mu'minin, sebab keragu-raguan itu tidak sewajarnya.
592. Dari Aisyah radhiallahu 'anha, katanya: "Abu
Bakar as-Shiddiq r.a. itu
mempunyai seorang hambasahaya lelaki yang mengeluarkan
- memberikan - kepadanya
pendapatan wajibnya -alkharaj. Abu Bakar makan dari
hasil kharaj tadi. Pada suatu hari
hambasahaya itu datang padanya dengan membawa sesuatu,
kemudian Abu Bakar juga
memakannya. Selanjutnya hambasahaya itu berkata pada
Abu Bakar: "Adakahandatahu,
hasil dari apakah ini?" Abu Bakar bertanya:
"Hasil apa ini?" Ia menjawab: "Dahulu pada
zaman jahiliyah saya memberikan sesuatu ramalan pada
seseorang, padahal saya sendiri
sebenarnya tidak pandai dalam persoalan kahanah -
pendukunan - itu, melainkan saya
hanyalah menipunya belaka. Tadi ia menemui saya lalu
memberikan pada saya sesuatu yang
anda makan itu. Abu Bakar lalu memasukkan tangannya
-dalam kerongkongannya, lalu
memuntahkan segala sesuatu yang ada dalam
perutnya." (Riwayat Bukhari)
Alkharaj ialah sesuatu yang ditetapkan
oleh seseorang tuan -pemilik - kepada
hambasahayanya untuk memberikan hasil yang ditetapkan
tadi kepada tuannya setiap hari,
sedangkan sisa dari hasil kerjanya itu untuk
hambasahaya itu sendiri.
593. Dari Nafi' bahwasanya Umar r.a. menentukan untuk
kaum muhajirin yang
pertama-tama sebanyak empat ribu - dirham setahun, ia
juga menetapkan untuk anaknya
sendiri - yang juga termasuk kaum muhajirin yang
pertama-tama - sebanyak tigaribu
limaratus. Ia ditanya; "Ia adalah termasuk kaum
muhajirin, mengapa engkau kurangi
pemberiannya?" Umar berkata: "Hanyasanya
kedua orang tuanyalah yang berhijrah dengan
membawanya serta." Umar menyambung ucapannya
lagi, yaitu: "Jadi ia tidaklah dapat
disamakan seperti orang yang berhijrah dengan dirinya
sendiri." (Riwayat Bukhari)
594. Dari Athiyyah bin 'Urwah as-Sa'di as-Shababi
r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.
bersabda: "Seseorang hamba itu belum sampai
kepada tingkat menjadi orang yang termasuk
kaum yang bertaqwa, sehingga ia suka meninggalkan
sesuatu yang tidak ada larangannya
karena takut kalau-kalau dalam ha! itu ada larangannya
- yaitu hal-hal yang syubhat."
Diriwayatkan oleh Imam Termidzi dan ia mengatakan
bahwa ini adalah Hadis hasan.
Komentar
Posting Komentar