Bolehkan kita melakukan Tahlilan?? bukankah tahlilan itu Haram? ataukah bid'ah?
Sesungguhnya Imam al Syafi’i tidak melarang Tahlilan, jika ada yang mengatakan bahwa Imam Syafi;i melarang Tahlilan maka sesungguhnya dia telah berbohong dengan ucapannya tentang di larangnya Tahlilan oleh Imam Syafi’i
Memang dalam kitab Madzhab Syafi’i telah diterangkan bahwa selamatan selama 7 hari kematian itu bid’ah yang makruh. Bahkan ada pendapat Imam Syafi’i mengatakan Hadiah pahala Bacaan Quran tidak sampai kepada simayit.
Mohon jangan membesar-besarkan persoalan ini, jika Anda tidak setuju dengan adanya Tahlilan. Yang menurut Wahabi itu Sesat dan Haram. Imam Syafi’i hanya mengatakan makruh, bukan Haram, dan beliau tidak melarangnya!
Madzhab Syafi’i dan beberapa Madzhab lain memang memakruhkan suguhan makanan oleh keluarga yang meninggal kepada pentak ziyah ( Yang hadir mengikuti tahlilan). Makruh sendiri artinya adalah akan mendapatkan pahala apabila di tinggalkan, dan tidak mendapatkan siksa apabila di kerjakan. Namun para ulama berpendapat bahwa dalam Agama tidak cukup mematuhi hukum dengan cara meninggalkan yang makruh, akan tetapi juga harus melihat situasi dan adat istiadat masyarakat. Oleh karena itu, apabila adat istiadat suatu masyarakat menuntut melakukan yang makruh itu, maka kita tetap harus melakukan demi menjaga kekompakan kebersamaan dan kerukunan dengan masyarakat sesama muslim. Bukankah semua muslim itu bersaudara.
Bukan berarti kita lebih tunduk kepada Hukum adat daripada hukum Agama, tapi kita harus lebih mengerti hukum Agama, agar kita tidak semena-mena dalam mengikuti apa yang kita dengar. Jadilah muslim yang kuat dan cerdas. Karena Iman saja kurang cukup, tapi kita juga harus berfikir dan belajar terus. Kecuali jika Anda ingin menjadi muslim yang salah dan bodoh yang bebas. Memang begitu kenyataannya, jika kita menjadi muslim yang belum faham Masalah Agama. Kita akan menganggap diri kita benar dan orang lain salah.
Mari kita lihat di dalam sebagian kitab klasik yang di tulis oleh ulama Madzhab Hanbali, yaitu Kitab al-Adab al-Syar’iyyah, Tulisan Ibnu Muflih al-Maqdisi, yang di terbitkan oleh Pemerintahan Saudi Arabia, di bagikan secara gratis kepada umat islam ( kebetulan Abang kandung saya pernah menjadi TKI demi mendapat melaksanakan Ibadah ahji 3x ) sekarang sudah meninggal semoga dosa-dosanya di ampuni dan amal ibadahnya di terima “amin”. Dalam kitab tersebut ada keterangan seperti ini :
وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلَّا فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صلى الله عليه وسلم تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلَا أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لِإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لَا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
Dan telah berkata Imam Ibnu A’qil dalam kitab al-Funun ‘tidak baik keluar dari tradisi masyarakat , kecuali Tradisi yang Haram, Karena Rosululloh SAW telah membiarkan Ka’bah dan berkata “seandainya kaumku tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah. . . “ Sayyidina Umar pun berkata “seandainya Orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al Quran, aku akan menulis ayat rajam di dalamnya” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan Solat 2 raka’at sebelum magrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul di sebutkan tentang 2 raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata “aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan Qadha Shalat di Mushalla pada waktu dilaksanakannya shalat Ied (Hari raya). Beliau berkata “saya khawatir orang-orang yang melihatnya akan ikut-ikutan melakukannya” ( al-Imam ibnu Muflih al-Hanbali, al-adab al-syar’iyyah, juz 2, hal 47), silahkan Sahabat lihat sendiri jika tidak percaya.
Berarti sudah jelas pernyataan di atas tersebut, bahwa tidak baik meninggalkan tradisi masyarakat selama tradisi itu tidak Haram ( dan itu sama persis dengan apa yang dikatakan beberapa Guru ngaji saya di beberapa pesantren di Banten, Purwakarta, bandung, Garut dan kampung halamn saya). Sedangkan suguhan makanan kepada pentakziyah itu hanya makruh bukan Haram, karena hal itu sudah tradisi, ya kita ikuti saja.
Seperti kata pepatah Arab “tarkul ‘adah ‘adawah (meninggakan adat istiadat menimbulkan permusuhan). Bukankah permusuhan sesama muslim itu di laknat? Lalu ada yang mengusulkan lebih baik tidak adanya suguhan makanan agar tidak makruh?
Jangan keras kepala sahabat, coba sahabat pahami perkataan Ibnu aqil dalam kitab al-funun di atsa. Di antara dasar mengapa, kita di anjurkan mengikuti tradisi selama tidak haram, adalah Hadist yang berbunyi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوْا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ لَوْلَا حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ. (رواه البخاري ومسلم)
Dari siti Aisyah RA bahwa Rosululloh Saw bersabda kepada Siti Aisyah RA “apakah kamu tidak tahu, bahwa ketika kaummu membangun ka’bah, tidak sempurna pada pondasi yang di bangun oleh Nabi Ibrahim AS” aku (siti Asisyah) berkata “wahai Rosululloh Saw apakah tidaka engkau kembalikan ka’bah kepada pondasi Nabi Ibrahim As?” beliau (Rosullulloh SAW) menjawab “seandainya bukan karena kaumku baru meninggalkan kekufuran, pasti aku lakukan “ HR al-Bukhari dan Muslim.
Dalam hadist diatas di atas di jelaskan, Bahwa Rosululloh Saw tidak merekontruksi ka’bah agar sesuai dengan ka’bah yang di bangun Nabi Ibrahim AS, hanya karena khawatir menimbulkan fitnah, karena kaumnya baru meninggalkan masa-masa jahiliyah. Sampai sekarang ka’bah yang ada, lebih kecil dari ka’bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Coba sahabat bayangkan Ka’bah saja, yang merupakan kiblat umat Islam dalam menunaikan shalat dan ibadah haji, di biarkan oleh Rosululloh SAW, karena alasan Tradisi, apalagi masalah kenduri selama Tujuh hari, 40 hari, 100 hari, setahun/tiap tahun (haul), yang hukumnya hanya makruh, itupun belum sepakat semua ulama makruh, bahkan ada juga yang berpendapat bawa itu di bolehkan dan sangat baik (bidah Hasanah). Pesoalan ka’bah tentu lebih besar dari tahlilan.
Karena tidak semua kaum salaf memakruhkan hidangan makanan yang dibuat oleh keluarga si meninggal untuk orang-orang yang bertakziyah, dalan masalah ini ada khilafiyah di kalangan mereka. Pandangan-pandangan tersebut antara lain sebagai berikut :
Pertama. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-khatthab yang berwasiat agar disediakan makanan bagi mereka yang bertakziyah. Al-Imam Ahmad bin Mani’ meriwayatkan :
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُول اللَّه صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ، فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاس أَيْدِيَهُم فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأَويل قَوله.
Dari Ahnaf bin Qais, barkata ; “aku mendengar Umar dia berkata ; “seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi Imam Solat selama 3 hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi Manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan, lalu mereka tidak jadi memakannya, karena duka cita yang menyelimuti. Lalu Abbas bin Abdul Mutthalib datang dan berkata : “wahai manusia, makanlah dari makanan ini.” Lalu Abbas menjamah makanan itu, dan orang-orang pun menjamahnya untuk dimakan. Aku baru mengerti maksud pernyataan Umar tersebut.”
Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Mani’ dalam al-Musnad, dan dikutip oleh al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Mathalib al-‘Aliyah, Juz 5 halaman 328 dan al-Hafizh al-Bushiri, dalam Ithafal al-Khiyarah al-Muharah, Juz 3 halaman 289.
Kedua diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah RA, istrinya Rosululloh SAW, ketika ada keluarganya yang meninggal dunia, beliau menghidangkan makanan. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya.
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari urwah, dari Aisyah, Istri nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal. Laalu orang-orang perempuan berkumpul untuk bertakziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbina (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) separiuk kecil, lalu dimasak, kemudian dibuatkan bubur, lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata “makanlah kalian, karena aku mendengar Rosululloh SAW bersabda : “talbinah dapat menenangkan hati Orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR Muslim <2216>).
Dua Hadist di atas menghantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang takziyah (tahlilan) tidak Haram. Khalifah Umar bin Khattab berwasiat agar pentakziyah diberi makan. Dan juga siti Aisyah ketika ada keluarganya yang meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat, dan teman-temannya yang sedang bersamanya, dengan demikian, tradisi pemberian makanan kepada para pentakziyah telah berlangsung sejak generasi Sahabat Nabi SAW.
Ketiga, Tradisi kaum Salaf sejak generasi Sahabat yang bersedekah makanan selam tujuh Hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalm hal ini al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd :
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“dari Sufyan berkata : “Thawus berkata “sesungguhnya orang yang meninggal akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadist di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 halaman 110 al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-fatawi 9juz 2 halaman 178). Silahkan Sahabat baca sendiri agar lebih yakin.
Menurut al-Hafizh al-Suyuti, Hadist di atas diriwayatkan secara Mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadist tersebut diperkuat dengan hadist Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadist Ubaid bin Umar yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadist Imam Thawus tersebut dihukumi Marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuti dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di kota Makkah dan Madinah sejak Generasi Sahabat, hingga abad kesepuluh (ke 10) Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuti.
Keempat, pendapat Imam Malik bin Anas, Pendiri Madzhab maliki, bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (Boleh/wenang) dan tidak makruh, dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata :
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
Hidangan kematian yang berlaku menjadi tradisi juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, fatha al’allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 halaman 218).
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum memberi makan orang-orang yang bertakziyah masih diperselisihkan di kalangan Ulama Salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, Mubah/Boleh, dan Sunnah. Di kalangan Ulama salaf tidak ada yang mengatakan tidak ada yang berpendapat haram. Bahkan untuk selamatan selama tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi Sahabat dan berlangsung di Makah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah.
Maka dengan demikian, Hukum suguhan makanan sebenarnya masih di perselisihkan di kalangan Ulama, kalau Anda kaum yang memerangi tradisi ini, suguhan makanan dalam acara tujuh hari (seminggu), maka jutru Andalah yang melanggar Hukum Agama. Karen dalam kaedah Fiqih disebutkan, laa yunkaru al-mukhlatafu fiih wa innamaa yunkaru al-mujma’u ‘alaih < tidak boleh mengingkari hukum yang diperselisihkan di kalangan Ulama, akan tetapi hanya hukum yang di sepakati para Ulama yang harus diprotes/ditolak >
Dalam masalah pengiriman Hadiah (membacakan Quran, Tahlilan, Solawat dan bacaan-bacaan lainnya ) Imam al-Syafi’i tidak melarang apalagi mengharamkan. Beliau hanya berpendapat bahwa pengiriman hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan lainnya menurut beliau tidak sampai. Sementara menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal, dikatakan sampai kepada si Mayit itu. Namun Banyak juga pengikut madzhab Syafi’i yang berpendapat bahwa pahalanya sampai kepada Mayit (orang yang telah meninggal dunia) yang kita tuju ( karena Alloh maha Kuasa ). Begitupun pengiriman hadiah pahala selain al-Qur’an seperti sedekah, istighfar, shalawat, tahlil dzikir dan tasbih, semua ulama sepakat sampai. Jadi masalah ini persoalan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Sesungguhnya Allohu Robbana maha mengatahui dan maha Kuasa.
Perlu di ketahui, bahwa meskipun Imam al-Syafi’i berpendapat tidak sampai tentang pahala al-Qur’an, beliau menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan seseorang, agar mendapatkan barokahnya dari bacaan al-Qur’an. Sahabat harus tau Masalah ini.
Jangan menjadi orang bodoh yang mudah di pecah belah kan hanya karena masalah Tahlilan dan Ziarah Kubur. Imam al Syafi’i tidak melarang Tahlilan ataupun ziarah Kubur. Sudah saya Bahas Berkali-kali. Bahawa Dalam bermadzhab, tidak berarti harus mengikuti semua pendapat Imam madzhab secara keseluruhan, Tetapi mengikuti pendapat Imam Madzhab yang kuat dalilnya. Dalam madzhab Syafi’i ada kaedah, apabila pendapat lama Imam al-Syafi’i (Qaul Qadim) bertentangan dengan pendapatnya yang baru (Qaul Jadid), maka yang diikuti adalah Qaul Jadid. Hanyan dalam 12 masalah para ulama mengikuti Qaul jadid (pendapat yang Baru) karena dalilnya lebih kuat. Jangan menjadi orang yang aneh ataupun lucu, dengan mengatakan tidak taklid kepada Ulama, dan hanya mengikuti al Quran dan Sunnah, tapi memaksa orang Sunni (ahli sunah wal jamaah) meninggalkan Tahlilan, dengan alasan imam kami melarang nya.
Kami pengikut ahli hadits dan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan pengikut Wahabi, Coba Sahabatperhatikan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal:
إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
Dalam pernyataan tersebut yang di perketat dalam penerimaan riwayat itu, kalau berupa hadist dari Rosululloh SAW. Berarti kalau bukan hadust Nabi SAW, seperti atsar Khalifah Umar, tidak perlu diperketat. Ayo Sahabat fahami dengan baik.
Al-Albani mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hambal dalam sebagian Kitabnya :
لا ينبغي لفقيه أن يحمل الناس على مذهبه
Tidak pantas bagi Orang ahli Fiqih memaksa Orang lain mengikuti madzhabnya”
Jadi kalau Andayang mengakuial-Albani sebagai panutan Anda, Anda tidak perlu memaksa umat Islam yang memang bermadzhab Syafi’i, untuk mengikuti ajaran yang Anda ikuti.”
Imam as-Syafi'i rahimahullah berkata:
"Disunnahkan kalau di sisi mayit yang sudah dikuburkan itu dibacakan sesuatu dari ayat-ayat al-Quran dan jikalau dapat di-khatamkan al-Quran itu seluruhnya, maka hal itu adalah baik."
Jadi, Ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki dan perempuan, sebab didalamnya terkandung manfaat yang sangat besar. Baik bagi orang yang telah meninggal dunia berupa hadia pahala bacaan Al-Qur’an solawat dzikir dan lainya, atau pun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya
Berikut tulisan di atas semuanya hasil karya Ulama-ulama besar, yang telah saudara se Agama saya rangkum, dan saya kemabli merangkum dan menulis ulang, banyak yang saya tambahkan dan juga saya hapus, sesuai pemahaman yang saya dapatkan dari berbagai Guru di pesantren dimana Tempat saya menimba ILMU.
Atau Sahabat bisa juga membacanya sendiri pada bebarapa Kitab seperti :
Al-Tahqiqot juz 3
Sunnah annasa i juz 3
Risallah ahlusunnah waljamaah
Sarh TanqihulQaul
Ryadul Sholihin
Terima kasih untuk semuanya, yang berperan dalam sebagian dan sepenuhnya Tulisan saya ini, sesungguhnya dimata Allohu Robbanan, tidak ada yang hilang pahala yang semestinya milik kalian “amin”
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar